oleh Hayru nizar
Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan tinggi
di Indonesia tengah mengalami masa transisi yang begitu dilematis. Pernyataan
ini dilandasi dari berbagai tindakan kontroversial pemerintah dalam
memberlakukan aturan-aturan yang bertentangan dengan hajat hidup masyarakat
jamak. Masih segar diingatan kita, pasca diberlakukannya status Badan Hukum
Milik Negara (BHMN) dibeberapa PTN besar di Indonesia, 17 Desember 2008 DPR RI
mengesahkan UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang sarat dengan neo-liberalisasi
yang berimbas menghilangkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas
pendidikan berkualitas dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertanyaannya, bagaimana kemudian BHP menjadi begitu menakutkan? Pada
BHP, sistem pendidikan yang ditawarkan berorientasi pada privatisasi lembaga
pendidikan tinggi, sehingga pengelolaan sebuah perguruan tinggi layaknya sebuah
perusahaan yang berafiliasi pada keuntungan sebesar mungkin, maka akan
berdampak pada terhambatnya akses pendidikan berkualitas oleh masyarakat
berekonomi lemah. Bagian kecil dampak dari BHP di Universitas Sriwijaya sendiri
yakni terjadinya kenaikkan biaya SPP dari nominal Rp 240.000 menjadi Rp
740.000. Dengan adanya unsur-unsur kapitalisasi pendidikan didalamnya, segenap mahasiswa,
ahli, dan pengamat pendidikan di Indonesia menolak dengan keras diberlakukannya
UU BHP, finishing-nya 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU
tersebut.
Polemik pendidikan tinggi Indonesia tidak
hanya berhenti disitu, dengan dalih ingin memberikan payung hukum bagi
pendidikan tinggi di Indonesia, pemerintah kembali melahirkan RUU baru yang
disinyalir sebagai format baru dari BHP yakni RUU Perguruan Tinggi (PT) yang
kemudian disahkan menjadi UU PT pada Agustus 2012. Disahkannya UU PT ibarat menghadapi
2 sisi mata pedang, karena jika implementasi aturan ini tidak dikelola dengan
baik akan mengancam eksistensi pendidikan nasional. Paling tidak ada 2 titik
poin yang disoroti pada UU PT, yaitu: otonomisasi keuangan perguruan tinggi dan
internasionalisasi. Dengan adanya otonomisasi pengelolaan keuangan, perguruan
tinggi negeri di-setting bak badan hukum yang difokuskan mencari sumber
pendanaan dengan mekanisme kerjasama terhadap pihak ketiga yang dalam hal ini
swasta. Dampaknya, kegiatan pencerdasan anak bangsa menjadi tidak optimal. Hal
itu mengindikasikan pemerintah ingin berlepas tangan dari pembiayaan pendidikan
nasional, dan ini diperkuat dengan tercantumnya pasal 76 ayat 2 poin c tentang
pemenuhan hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi, pemerintah justru menawarkan pinjaman
dana pendidikan tanpa bunga yang harus dilunasi mahasiswa setelah lulus
dan/atau memperoleh pekerjaan. Kemudian agenda internasionalisasi pendidikan
yang tidak realistis juga tercantum pada pasal 90, dimana PTA (Perguruan Tinggi
Asing) dibolehkan berdiri di wilayah NKRI dengan izin pemerintah, disini jelas
tersirat bahwa privatisasi perguruan tinggi menjadi agenda terselubung.
Dengan telah disahkannya UU PT, maka
pemerintah juga akan mengubah sistem pembayaran pendidikan tinggi pada seluruh perguruan
tinggi di Indonesia, termasuk Universitas Sriwijaya. Mulai tahun ajaran
2013/2014, pembayaran biaya pendidikan PTN akan menggunakan sistem UKT (Uang
Kuliah Tunggal) yang berlandaskan pada pasal 88 ayat 1 UU PT.
Apa Itu UKT?
Uang Kuliah Tunggal atau disingkat dengan
UKT, telah diinstruksikan oleh pemerintah melalui surat edaran Dirjen Dikti
Nomor 97/E/KU/2013 tertanggal 5 Februari 2013. Surat tersebut berisi perintah
kepada perguruan tinggi untuk melakukan 2 hal, yaitu:
1. Menghapus uang pangkal bagi mahasiswa
baru program S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
2. Menetapkan dan melaksanakan tarif Uang
Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru S1 Reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
UKT merupakan sistem pembayaran akademik 1
pintu yang dibebankan kepada mahasiswa S1 Reguler serta disubsidi dengan dana
BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri). Pada UKT ini, seluruh
biaya pendidikan selama 1 semester harus dilunasi mahasiswa pada awal semester,
dan perguruan tinggi tidak melakukan pungutan apapun selain itu. Dalam
menentukan biaya UKT, digunakan rumus Unit Cost x K1 x K2 x K3. Unit Cost
merupakan biaya satuan pendidikan pada masing-masing program studi, oleh karena
itu yang menentukan perhitungan Unit Cost ini adalah program studi bersangkutan
di masing-masing PT. Kemudian K1 adalah indeks capaian Standar Nasional PT,
intinya semakin banyak program studi yang terakreditasi A, maka semakin tinggi
UKT. Lalu K2 ialah indeks jenis program studi, dimana bersifat variatif dan
bergantung kepada kualitas fasilitas program studi tersebut. Dan K3 adalah
indeks kemahalan wilayah, disini semakin terpencil suatu daerah maka semakin
mahal UKT.
Kejanggalan dari sistem UKT adalah perhitungan
Unit Cost yang dilandasi dengan asumsi bahwa mahasiswa pada setiap semesternya
mengambil 24 sks dan di bagi dengan 8 semester, hal ini mengindikasikan adanya
isyarat pembatasan studi hingga 4 tahun. Mekanisme ini masih ‘abu-abu’, sebab
tidak seluruh mahasiswa mampu menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 4 tahun.
Belum lagi proses pencairan dana BOPTN yang selalu terlambat, yang berakibat
defisitnya dana PT, padahal selama ini PT selalu diselamatkan oleh uang pangkal
mahasiswa baru untuk menambal defisitnya dana tersebut. Maka, dapat dipastikan
PT akan melakukan ‘tambal sulam’ dana jika UKT diterapkan, karena penarikan
uang pangkal dihapuskan dan dana BOPTN terlambat dikucurkan. Dampaknya,
pemangkasan dana pada pos-pos tertentu, terutama dana kemahasiswaan kemungkinan
besar akan dilakukan. Dan yang terpenting jika UKT diterapkan, penentuan Unit
Cost sangat berpotensi sebagai momentum bagi PT untuk membengkakkan biaya
kuliah, karena ini akan melipatgandakan biaya rupiah yang harus dibayar, yang
semua itu akan memberatkan orang tua mahasiswa baru karena harus dituntaskan
dalam 1 kali transaksi per semesternya. Jangan sampai amanat yang diberikan ke
pemerintah untuk ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’ yang termaktub pada UUD 1945,
realitasnya berubah menjadi ‘memahalkan pendidikan bangsa’.
#SAVE_Pendidikan_Indonesia
|
Kebijakan Publik KAMMI AL-QUDS
|
Sebuah Karya Baru Mahasiswa Unsri telah hadir memperkaya khazanah cakrawala: Buku MAHASISWA VISIONER “Menembus Batas Merebut Masa Depan” oleh M Iqbal Themi
BalasHapusPenulis adalah Penggiat Geraka Mahasiswa di Sumsel dan Young Speaker)
Kata Mereka. . .
. . . buku ini dapat menjadi oase bagi generasi muda, khususnya para mahasiswa. Semoga apa yang dilakukan bung iqbal dapat member kontribusi positof masa depan Indonesia lebih baik.
DR. Rizal Ramli
(Mantan Menko Prekonomian RI era Presiden KH Abdurahman Wahid)
Sebagai entitas istimewa, di pundak mahasiswa tersemat banyak amanah. Tak hanya berpikir untuk diri sendiri, tetapi juga harus mengintegrasikan visi pribadi pada cita-cita nusa bangsa. Melalui buku ini, iqbal mengajak mahasiswa berefleksi agar mengoptimalkan masa istimewa di kampus untuk mulai menggoreskan cerita dalam dunia aktivisme.
JUSMAN DALLE
Penulis dan Kolumnis Nasional
Buku inspiratif yang ditulis dengan bahasa renyah dan menarik untuk didalami. Tidak banyak buku yang mendiskusikan tentang mahasiswa dan gerakan yang dilakukannya. Tulisan Iqbal Themi ini ditulis melalui serangkaian perenungan atas pengalaman dan pengetahuan yang beliau miliki, sehingga menjadi sebuah buku yang ‘hidup’ dan mengajak pembaca untuk berdialog tentang hakekat mahasiswa.
RIDWANSYAH YUSUF ACHMAD
Sekretaris Jendral Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda
Berminat? Hubungi Nando (087796905423). Promo Rp 33.000 (+ Ongkir untuk Luar Palembang)
Wah iklan ya....
BalasHapus:-)
sabung ayam online
BalasHapus