OLEH: HAYRUNIZAR
“Sejarah itu banyak diisi
dengan kebohongan. Tapi sejarah adalah kebohongan yang tetap penting untuk
dipelajari”.
Nampaknya,
kalimat di atas bernada perasaan skeptis serta refleksi keputusasaan atas
berbagai kebohongan sejarah yang telah banyak dilakukan oleh para pendahulu
umat manusia. Kelakuan yang berdampak psikologis tersebut tentu saja bukan
tanpa alasan, karena begitu tak terhitungnya kepentingan-kepentingan yang ada untuk
mengamankan para pelakunya dari kutukan generasi masa depan atas perbuatan
amoral yang dilakukannya pada masa lalu. Melihat realita yang ada, bukan
berarti menyurutkan langkah kita untuk menguak kebenaran sejarah, karena tanpa
disadari atau tidak sejarah sebuah bangsa yang terpublikasikan secara masif
kepada generasi mudanya, akan secara signifikan mempengaruhi mentalitas
pemudanya dalam membangun paradigma menjalani kehidupan.
Layaknya
sebuah bangsa yang besar, Indonesia banyak dihiasi oleh lukisan-lukisan sejarah
yang terdokumentasi membentuk perjalanan peradaban negeri ini. Hanya saja,
lukisan-lukisan tersebut belum sepenuhnya mengekpresikan kejujuran yang dapat
mengilhami perbaikan negeri ini. Oleh karena itu, bersikap kritis terhadap
dokumen sejarah yang tak sejalan dengan nalar kemanusiaan dan sarat kepentingan
menjadi sebuah hal urgen yang perlu dikedepankan oleh insan akademisi, terlepas
apapun latar belakang keilmuannya.
Membuka
kembali lembaran sejarah Indonesia, di penghujung bulan ini (September) kita
akan dikenangkan kembali dengan peristiwa tak beradab yang telah
menginjak-injak hak kemanusiaan. Peristiwa yang menjadi riak awal revolusi
berdarah. Yang hingga saat ini belum diketahui kebenarannya. Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia (G 30 S PKI) yang selama ini selalu
dicitrakan sebagai musuh besar ideologi pancasila yang menjadi asas Indonesia,
hingga imbasnya Komunis dan institusi politiknya menjadi hal yang terlarang di
negeri ini. Namun apabila kita memandang sejarah secara objektif, sejak
meletusnya G 30 S PKI maka dimulai pula tragedi pembunuhan massal terhadap
orang yang divonis harus bertanggung jawab terhadap gerakan G 30 S. Peristiwa
ini merupakan kejahatan kemanusiaan terbesar yang pernah dialami bangsa ini,
yang kemudian melahirkan sebuah rezim otoriter Soeharto dan Orde Baru nya.
Dokumen sejarah G 30 S PKI yang sarat
kepentingan Orde Baru telah menjadi konsumsi kita sejak di bangku sekolah
dasar. Selama ini kita ketahui bahwa gerakan G 30 S PKI merupakan rencana
kudeta terhadap pemerintahan Soekarno dengan melakukan penculikan dan
pembunuhan terhadap Jenderal-jenderal ABRI yang dimotori oleh PKI dan dibantu
dengan militer yang berafiliasi dengan PKI yaitu Cakrabirawa dibawah Letkol
Untung. Untuk melanggengkan kebohongan tersebut sebagai alat pencitraan, setiap
tanggal 30 September pemerintah Orde Baru menyuguhi sebuah film tentang
pemberontakan PKI dimana ditayangkan bagaimana PKI dengan kejamnya menculik dan
membunuh Jenderal A. Yani, dkk. Namun semua itu hanyalah film buatan Orde Baru
yang tentu kita tidak tahu bagaimana kebenaran ceritanya. Bahkan ketika Orde
Baru runtuh pun tabir yang menutupi kebenaran itu tak kunjung tersingkap.
Jika kita merujuk pada kesaksian Soebandrio
pun masih banyak hal yang menjadi pertanyaan. Usaha-usaha untuk meluruskannya
pun bak bangsawan di menara gading yang harus menunggu belas kasih sang
bangsawan untuk turun dan menemui para perindunya. Hal ini perlu dikritisi
karena peristiwa ini merupakan tonggak awal dari berdirinya rezim kediktatoran
Soeharto, masuknya korporat-korporat asing yang mengeruk kekayaan bangsa kita.
Selain itu yang terpenting adalah bagaimana bencana kemanusiaan, pembunuhan
massal terhadap orang-orang PKI diseluruh negeri ini yang mencapai setengah
juta jiwa di Jawa dan Bali terjadi begitu cepat tanpa melibatkan sisi
kemanusiaan sedikitpun. Lalu siapa yang paling bertanggungjawab atas
pembantaian tersebut? Siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap pengambilan
hak - hak, pendiskriminasian mereka yang keturunan PKI? Bagaimana mungkin
kesalahan kolektif yang masih samar bisa diterima oleh bangsa ini? Itulah
tragedi kemanusiaan yang ditolak oleh seluruh dunia, tapi diterima oleh bangsa
kita. Dan yang bertentangan dengan nalar kemanusiaan adalah pemberontakan oleh
militer dan sipil yang pro terhadap PKI menjadi kesalahan seluruh partai PKI
dan para pendukungnya?
Adalah suatu yang janggal ketika partai
ke-4 terbesar di Indonesia melakukan kudeta dengan rencana yang tidak tersusun
rapi dan dalam waktu singkat bisa dipadamkan. Kejanggalan lainnya yakni
bagaimana mungkin partai yang saat itu dekat dengan presiden dan bersepakat
dengan aksi “Ganjang Malaysia” melakukan kudeta terhadap pemerintahan. Siapakah
dalang di balik peristiwa itu? Kini,
sejarah itu pun seolah menjadi sebuah cerita fiktif. Pihak yang ingin
memadamkan kudeta justru dituduh sebagai penyulut api kudeta. Mungkin benar
adanya kata Bung Karno, “Peristiwa ini adalah riak kecil dalam sebuah Revolusi
Besar”.
Revolusi yang mengorbankan nyawa
manusia tak bersalah adalah sebuah tindakan anti kemanusiaan yang harus di
tolak. Revolusi dalam sebuah negeri adalah suatu
keniscayaan. Bedanya hanya pada dua hal: siapa musuhmu yang akan ditumbangkan
kekuasaannya, dan dengan cara apa kamu mengkudetanya. Siapa musuhmu menentukan
atas nama apa kamu melakukan revolusi. Caramu melawan menggambarkan watak revolusi
yang kamu lakoni. Di dasar batinmu yang terdalam sebenarnya kamu tahu atas nama
apa kamu melakukan revolusi: kebenaran atau kebatilan. Angkara murka yang lahir
dari kebatilan niscaya melahirkan dendam, keserakahan, dan brutalisme. Persis
kudeta militer di Mesir yang menelan ribuan korban. Habis itu kesunyian yang
panjang, dan darah yang terus mengalir tanpa kasih.
Objektivitas sejarah
memang belum terbenahi di negeri ini, semoga para sejarawan masa depan dapat
mengobati dahaga panjang negeri ini terhadap heroisme pendahulu kita
memperbaiki Ibu Pertiwi.
SALAM KEMANUSIAAN................
SELAMAT MEMPERINGATI
PERISTIWA G 30 S PKI.....................
daftar sabung ayam
BalasHapusdaftar sabung ayam
BalasHapus