Home » , » Menggugat Status IPK Sebagai Penentu Masa Depan

Menggugat Status IPK Sebagai Penentu Masa Depan


Edisi PMB 
Oleh: Hayrunizar 

Cara terbaik meramalkan masa depan, adalah dengan menciptakan masa depan itu sendiri”. 
(Peter F. Drucker) 

Boleh jadi, hingga detik ini anda masih belum menyadari takdir sesungguhnya, atau bahkan cenderung belum percaya sepenuhnya, bahwa saat ini anda tengah menjajaki pintu gerbang status yang dominan di buru oleh mayoritas pemuda ‘haus’ ilmu. Status yang kemudian mencitrakan anda sebagai pemuda berwibawa. Status yang mayoritas orang berpendapat mampu menghantarkan pemiliknya ke taraf kesejahteraan hidup. Serta status yang hanya dimiliki oleh segelintir pemuda yang mampu berkompetisi dalam kesempitan kesempatan. Ya, semua orang menyebut status tersebut dengan kata mahasiswa. 

Berbicara tentang kesempatan, maka tidak akan pernah terlepas dengan opsi atau pilihan. Karena pada hakikatnya, terlepas dari takdir yang telah memberi kesempatan kepada anda untuk mengenyam pendidikan tinggi, sesungguhnya ada celah dimana anda diberi kesempatan untuk memilih serta merencanakan, termasuk peristiwa diterimanya anda pada perguruan tinggi dan hal ihwal masa depan anda. Maka dari itu, merupakan hal yang wajar bila seorang Peter F. Drucker menyatakan bahwa dengan menciptakan masa depanlah, cara terbaik untuk meramalkan masa depan. Sebab jika kita renungkan sejenak, ada proses ikhtiar dimana terjadi penggemblengan diri sebelum menuju kompetisi, yang hal itu berupa; keuletan mendalami ilmu pada tataran sekolah menengah, mematuhi tata tertib lembaga sekolah menengah, hingga persiapan-persiapan lainnya yang berhubungan dengan pencapaian terbaik nilai afektif, kognitif, dan psikomotorik. Yang kemudian membuahkan hasil masuknya anda dalam kualifikasi standar untuk menjadi seorang mahasiswa pada perguruan tinggi. Karena secara sadar ataupun tidak, anda mampu menjadi bagian dari komunitas intelektual yang merupakan bagian kecil suatu masyarakat negara, adalah bentuk kesuksesan anda menciptakan atau merencanakan masa depan. 

Lalu, yang perlu anda sadari adalah keberhasilan usaha untuk menyentuh gerbang status mahasiswa, baru sebatas langkah awal, masih begitu panjang perjalanan yang akan di tempuh untuk mencapai kematangan intelektual dan karakter diri. Kembali ke kalimat awal, untuk merebut masa depan anda yang ‘dilumuri’ dengan intelektualitas, kemapanan karakter, serta kesuksesan di berbagai lini kehidupan, anda pun mesti melakukan penciptaan masa depan itu dengan melewati proses-proses ikhtiar kembali melalui metode yang tentunya berbeda dan lebih berat dibandingkan proses usaha merebut status mahasiswa. Yang kini menjadi tanda tanya besar dalam benak kita, bagaimana metode merebut kemapanan masa depan itu? 

Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), pengangguran di Indonesia mencapai 4,1 juta (21 persen) dari jumlah angkatan kerja sebanyak 21,2 juta pada tahun 2011. Dari 4,1 juta pengangguran tersebut separuhnya (50 persen) adalah lulusan diploma dan sarjana. Data tersebut menggambarkan kepada kita bahwa lulusnya seseorang dengan menyandang predikat sarjana, belum bisa memastikan dirinya untuk mampu berkontestasi di dunia kerja. Data di atas juga menjelaskan, tanpa gelar sarjana pun seseorang bisa melepaskan dirinya dari predikat pengangguran. Bahkan tidak menutup kemungkinan, 50 persen pengangguran intelektual itu hanya menjadi penghias tatanan masyarakatnya tanpa mampu memberikan kemaslahatan lingkungan dan meningkatkan taraf hidup keluarganya. Muncul tanya kembali, mengapa orang-orang yang ditempa di kondisi lingkungan ilmiah dan riset menjadi tak bertaring ketika berhadapan dengan realitas hidup? Padahal logika sederhananya, mereka telah dibekali keilmuan lebih dari cukup untuk mengikuti kontes kehidupa

Jawaban dari pertanyaan mendasar itu adalah, mereka tidak melewati seutuhnya proses penciptaan masa depan ketika mereka berstatus sebagai ‘warga negara’ kampus. Semua proses yang mestinya dilalui untuk membentuk kemapanan karakter dan intelektualitas hanya mereka lewati sepotong-sepotong. Maka dampaknya, mereka kehilangan karakter yang itu dibutuhkan untuk menjadi tenaga profesional. Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Anies Baswedan dalam Roadshow "Setahun Mengajar, Seumur Hidup Menginspirasi", menyatakan bahwa; "IPK tinggi hanya mengantarkan mahasiswa pada panggilan wawancara, yang membuatnya sukses adalah kemampuan leadership dan kematangan karakter".

Kini kita telah menemukan benang merah yang menghubungkan antara karakter kepemimpinan dan kesuksesan masa depan. Sekarang untuk mampu menciptakan masa depan yang diinginkan, anda tidak hanya dituntut untuk menyelesaikan beban Sistem Kredit Semester (SKS) mata kuliah, tetapi anda juga dituntut untuk memiliki talenta atau softskills berupa kemampuan leadership, manajemen waktu, manajemen SDM, kemampuan merencanakan, kemapanan komunikasi publik, dan sederet ketrampilan lainnya yang itu tidak diperoleh di bangku kuliah, di rumah kos, bahkan di kantin. Kemampuan-kemampuan tersebut, hanya akan di dapat manakala seorang mahasiswa menjadi bagian dari organisasi kemahasiswaan, ia bersedia menggeluti semua kurikulum ‘sekolah aktivis’ yang itu hanya ada bila seseorang berorganisasi. Karena fakta telah membuktikan mahasiswa yang semasa studi kampusnya menggeluti dunia aktivitas organisasi, di dalam dirinya tersemai instrumen karakter kepemimpinan yang matang. Melalui ‘sekolah aktivis’ tersebut mereka terpaksa melatih diri untuk menyeimbangkan antara studi dan organisasi, terpaksa untuk berbicara di muka umum, terpaksa merencanakan program kerja organisasi, dan sederet keterpaksaan lain yang berdampak tersusunnya wawasan kepemimpinan dan karakter dalam dirinya.

Hipotesa di atas bukan berangkat dari persepsi pribadi semata, karena Berdasarkan hasil survei NACE (National Association of Colleges and Employers) pada tahun 2002 kepada 457 pemimpin perusahaan tentang kualitas terpenting seseorang, hasilnya berturut-turut adalah kemampuan berkomunikasi, kejujuran dan integritas, kemampuan bekerjasama, kemampuan interpersonal, beretika, motivasi dan inisiatif, kemampuan beradaptasi, daya analitis, kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi, berorientasi pada detil, kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, bijaksana, IPK, kreatif, humoris, dan kemampuan berwirausaha. Bila kita lihat berbagai kompetensi unggul di atas, harga IPK lebih ‘murah’ dibandingkan kemampuan komunikasi dan softskills lainnya, yang itu hanya diperoleh jika anda berorganisasi. 

Akhirnya, semua pilihan dan perencanaan tetap kembali pada individu masing-masing, pilihan ingin berorganisasi atau tidak pun akan kembali pada pribadi masing-masing. Karena dalam kehidupan hanya akan ada 2 pilihan, begitu pun hal ini, hanya ada 2; anda sukses mengulang kecemerlangan merebut masa depan seperti saat anda berhasil menyabet predikat mahasiswa, atau lulus dengan gelar sarjana biasa dengan masa depan yang biasa pula. Persis seperti meramal masa depan, cara terbaik menciptakan kepemimpinan adalah dengan berorganisasi. 


1 komentar: