(Oleh Lisa Rukmana)
Abad 21 mewakili suatu masa yang penuh
dengan tantangan di berbagai segi dan berbagai level. Banyak hal yang mesti
diperhatikan disini; turbulensi global, krisis multidimensi, ketidakpastian, berbagai
macam keragaman, kompleksitas, ketegangan, perubahan cepat yang tidak diikuti
dengan sumber daya yang seimbang sehingga menimbulkan kejenuhan inovasi, dsb.
Siapkah kita menghadapinya?
Beralihnya model pemerintahan Turki
Ustmani (pemerintahan Islam terakhir) menjadi Republik Turki pada tahun 1924 M yang
menyebabkan semakin merosotnya kedigdayaan Islam membuat umat Islam sangat
membutuhkan seorang tokoh yang cerdas, berpikiran tajam, berkeyakinan kuat
serta memiliki perasaan yang peka dan tekad baja. Disamping itu, tokoh yang
ditunggu adalah seorang yang memiliki sensivitas terhadap kondisi masyarakat
yang dihadapinya, mampu mengidentifikasikan dan menganalisa apa yang sebenarnya
terjadi, serta dapat memberikan solusi atas problematika kontemporer yang sedang
dihadapi. Ia haruslah sosok penyabar yang bisa melayani umat kapanpun
dibutuhkan dan memberikan arahan jika diperlukan. Sebut saja Nabi Sulaiman as.,
Rasulullah SAW, Duo Umar, kemudian Sang Penakluk Imperium Romawi terbaik yang
pasukannya adalah pasukan terbaik pula.
Dimana kita mendapatkan pemimpin yang seperti ini. Akankah kita terhempas
globalisasi atau kita yang mengendalikan globalisasi?
Menjawab tantangan masa depan seperti
ini, maka terlebih dahulu kita harus berani untuk menjadi bagian dari solusi
atas permasalahan global yang tengah melanda umat ini. Karena pilihannya hanya ada
dua: terbawa arus atau membangun arus baru. Bila telah memutuskan untuk
mengikuti arus maka bersiap-siaplah untuk terhempas sewaktu-waktu sebagaimana
negara-negara barat yang sesungguhnya rapuh namun tertutupi dengan topeng
hedonisme dan ke-glamor-annya, kini peradaban Barat itu tengah menunggu
kejatuhannya. Tapi bila kita menciptakan arus baru, maka bersiap-siap pula
untuk mengerahkan seluruh kemampuan untuk membangun peta global (mapping global) yang baru sehingga perfeksionisme Islam menjadi trendsetter
peradaban.
Mengikuti arus (mainstream) jelas memang
menjadi target dari musuh-musuh Islam untuk menjebak umat Islam mengikuti
mereka, “Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu
sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka
kekal di dalamnya.” (Qs. Al Baqarah: 217).
Apa yang menyebabkan umat Islam
khususnya di Indonesia menjadi seperti ini. Rijalul Imam, dalam bukunya “Naskah
Menyiapkan Momentum Pemuda”, menuliskan faktor-faktor yang
menyebabkan keterpurukan bangsa ini adalah:
Pertama,
adanya persepsi bahwa keterpurukan dan keterbelakangan ini disebabkan oleh ulah
kaum kolonial. Penjajahan telah berhasil memperparah kondisi bangsa dari
kondisi kegemilangan ke keterpurukan. Penjajahan baik sebelum kemerdekaan yang
berupa penjajahan fisik, hingga pasca terusirnya penjajah, kini penjajahan itu
berupa mindset (pemikiran) dan
sistemik.
Kedua, ada persepsi
bahwa keterbelakangan ini disebabkan oleh internal bangsa kita sendiri. Masyarakat
yang tidak terorganisir dengan baik akan menyimpan berbagai kerapuhan
didalamnya: kekuatan yang terpecah, memiliki pemimpin secara fisik namun
disfungsi kepemimpinan, emosi kolektif yang tidak sama, keragaman ini yang
melatarbelakangi terjadinya perpecahan. Keunggulan-keunggulan individu yang
tidak terakomodasi dan terorganisir dengan
baik hanya akan menyebabkan vakumnya kekuatan itu. Jika saja bangsa ini mampu
melalui turbulensi berbagai serangan tersebut kita tidak akan mampu memundurkan
peradaban Indonesia ini sejengkal pun, apalagi menambah keterpurukannya.
Faktor yang paling krusial dari dua
faktor penyebab keterpurukan bangsa Indonesia adalah faktor internalnya, namun
bukan berarti faktor eksternal tidak mempengaruhi. Justru sebaliknya berbagai upaya untuk menyudutkan
Indonesia sudah sangat komprehensif dilakukan, mulai dari kebijakan-kebijakan
konspiratif yang diterapkan menyengsarakan bangsa Indonesia, penjajahan
intelektual dari segala sektor hingga perkara-perkara yang kita sebut Ghowzul Fikr (invansi pemikiran) yang
dikenal dengan 3F dan 6S, dimana 3F itu terdiri dari Food (makanan), Fun (Hiburan), Fashion
(Cara berpakaian). Sedangkan 5S terdiri dari Song (lagu), Sex, Smoke (rokok), Sport (olahraga), Shopping
(berbelanja/konsumerisme), dan science
(ilmu pengetahuan).
Rasulullah mengetahui dengan baik
kenyataan ini. Beliau bersabda:
“Kelak
umat lain akan mengerumuni kalian, bagaikan orang-orang yang lapar mengerumuni
hidangan mereka.” Salah seorang sahabat bertanya, “Apakah karena jumlah kita
yang sedikit?” Rasulullah menjawab, “Tidak, pada saat itu jumlah kalian banyak,
tetapi kalian bagaikan buih dilautan. Allah akan mencabut rasa takut dan hati
musuh kalian dan Allah akan mencampakkan wahn dalam hati kalian.” Salah seorang
bertanya, “Apakah wahn itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Mencintai dunia dan
takut akan kematian.” (HR. Abu Daud dan Ahmad)
Penyakit wahn ini melanda sangat cepat terlebih ketika dunia semakin mempesona
dan segala yang diperbolehkan kian massif. Cinta dunia dan takut mati adalah
dua indikator yang melemahkan kekuatan internal bangsa kita. Di samping itu muncul
berbagai aliran/golongan-golongan baru yang saling klaim kebenaran dan
pembenaran sebagai bagian dari musibah agama, pun dengan himpitan ekonomi dan
kehilangan teladan kepemimpinan semakin membuat bangsa terpuruk. Akibat dari
cinta dunia yang takut mati inilah menimbulkan penyakit komplikasi pada umat,
terjadilah kemiskinan, keterbelakangan, dekadensi moral,
korupsi-kolusi-nepotisme, diktatorisme, eksploitasi, dsb.
Tampaknya kita memang harus bergerak
lebih cepat dan gesit untuk membangun sebuah terobosan dalam mengaktualisasikan
tuntutan kita membangun peta global yang baru dalam agenda perbaikan umat
sebelum sampai pada kemurkaan-Nya, “Dan
tidak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami
membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami siksa (penduduknya) dengan
siksaan yang sangat keras. Yang demikian telah tertulis dalam Lauh Mahfudz.”
(QS. Al-Isra: 58).
Allah SWT dalam Kitab-Nya telah
menunjukkan kita bagaimana melakukan perubahan. Rijalul Imam menuliskan bahwa kekuatan
rekonstruksi itu adalah kembali pada Al-Qur’an, pada beberapa ayat akan kita temukan
bahwa ketiga kekuatan yang jika tanpa salah satu diantaranya yang terjadi
adalah keterpurukan dan ketidakberwibawaan kekuasaan. Pertanyaannya, siapa
sajakah ketiga kekuatan itu. Ketiga kelompok itu adalah penguasa, pengusaha dan
militer. Dengan gamblang Al-Qur’an menggambarkan bahwa ketiga kekuatan itu
telah mencapai puncaknya pada tiga orang yakni: Fir’aun, Hamman dan Qarun.
Pertama,
Fir’aun, seorang penguasa yang absolut dan otoriter sehingga mengklaim dirinya adalah
Tuhan dan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya.
Kedua,
Hamman, seorang panglima militer yang
tangguh. Sehingga kerajaan Fir’aun tidak ada tandingannya dengan kerajaan lain.
Selain panglima militer, Hamman pun memiliki otak arsitek. Ketika Fir’aun
dengan segala kesombongannya menitahkan untuk membangun sebuah bangunan dari
tanah liat (Piramida) untuk membangun wacana bahwa Nabi Musa as. adalah
pendusta.
“Dan
berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain
aku. Maka bakarlah hai Hamman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku
bangun yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” (QS.
Al-Qashaash: 38)
Ketiga,
Qarun, seorang pengusaha yang kaya raya. Puncak kekuatannya digambarkan Al
Qur’an bahwa kunci gudangnya tidak dapat diangkat kecuali oleh banyak pasukan.
Kunci gudangnya saja seberat dan sebesar itu apalagi ukuran gudang dan jumlah
hartanya.
Ketiga poros tersebut relevan dengan
teori Huntington mengenai faktor yang membuat kejayaan Barat atas Dunia Islam:
Pertama,
faktor demografis dan teritorial.
Penguasaan dunia dengan ekspansi liberalisasi serta klaim kepemilikan
wilayah dibawah pengawasan Barat yang disamarkan dengan istilah globalisasi dan
modernisasi.
Kedua,
faktor militer (pertahanan) melalui penaklukan atas negara-negara yang dianggap
memiliki nuklir, jika zaman rezim orde lama kita banyak disuguhi dengan film-film dari Asia Timur maka kini ekspansi
film-film sebangsa Hollywood, dsb. yang membuat negara-negara lain merasa
imperior atas kedigdayaan barat.
Ketiga,
faktor ekonomi melalui kerjasama bisnis dan penyaluran bantuan (hutang) yang
pada akhirnya membuat negara peminjam terjerat hutang dan mudah terintervensi.
Yang menjadi catatan penting bagi kita
semua sebagai umat Islam adalah bagaimana mengambil alih kewenangan atas ketiga
poros itu, melakukan advokasi para pekerja di ketiga poros dan mengisi ketiga
poros itu dengan sumber daya muslim yang bercita-cita menghidupkan kebaikan
Islam didalamnya. Kini kita tengah berada di persimpangan sejarah, kabut
transisi reformasi telah lama ditapaki. Namun belum ada tanda-tanda cahaya
matahari turun ke bumi. Nampaknya matahari masih ingin melihat sejauh mana
tekad kita untuk menggerus krisis multidimensi menjadi stabilitas multidimensi.
Keteladanan sejarah saja tidak cukup, menjelaskan keunggulan ideologi dan
kehebatan Islam dimasa lalu saja tidak cukup. Karena itu hanya akan menjadi seperti
kisah pengantar tidur, karena yang ada justru segala keterpurukan kita yang mereka
saksikan saat ini. Namun bukan berarti The
Golden Age yang pernah menjadi prototipe kejayaan Islam dimasa silam tidak
akan pernah kembali, Al-Qur’an telah menetapkan aksioma sejarah yang tidak
dapat digugat akan kebenarannya, bahwa dimasa depan kitalah yang menjadi ustadziyatul alam (soko guru peradaban),
kepastian ini tidak diragukan lagi kebenarannya.
Lantas rekayasa yang bagaimana yang harus
kita ciptakan untuk kembali menghadirkan estetika Islam ditengah musim gugur saat
ini, memanfaatkan krisis multidimensi menjadi celah untuk menyelesaikan
perkara-perkara umat ditengah penyongsongan fase nubuwwah. Lagi-lagi merujuk
pada isyarat Allah dalam Al-Qur’an, “Kalian
adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia, menyuruh pada yang ma’ruf
mencegah pada yang munkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Kitalah yang ditegaskan Allah sebagai
umat terbaik itu, namun janji Allah tidak akan terwujud jika tidak ada sambutan
dari umatnya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka,” (QS. Ar Raad : 11).
Allah juga tidak akan membiarkan
umatnya merasa terbebani dengan amanah memerangi kebatilan tanpa ada kausalitas
sejarah, karena itu Allah memberikan panduan bagaimana caranya merealisasikan
terwujudnya kemenangan Islam, Allah memberikan beberapa petunjuk petunjuk yang
harus dipegang. Beberapa petunjuk ini sebaiknya kita jadikan program diri kita:
1. Memperkokoh keimanan pada Allah SWT dengan intensif dan menyempurnakan
ibadah sesuai dengan yang diperintahkan-Nya. Mulailah pada saat ini juga,
mengajak keluarga merasakan perfeksionisme Islam, sampai
lingkungan negara.
2. Memperluas wawasan dengan banyak-banyak belajar, berguru pada guru-guru
terbaik disekitar kita. “Tuntutlah Ilmu sampai liang lahat.” (Ahli Hikmah).
3. Membangun kemandirian (ekonomi) diri dan umat yang berbasis syariah
Islam dan jauh dari sistem ribawi.
4. Melatih diri menjadi yang berkompeten dibidangnya masing-masing dan
mengisi segala lini-lini dalam bermuamalah sehingga keindahan Islam dapat
dirasakan seluruh umat manusia.
Setiap dari kita adalah pemimpin.
Maka tugas kita sekarang adalah melatih diri kita menjadi pembawa perubahan positif
dimanapun dan dalam posisi apapun, berada dibarisan depan atau barisan belakang
bukan itu yang akan dinilai Allah melainkan kontribusi dalam dakwah inilah yang
akan mengukur kesungguhan kita dalam agenda tajdid ini, barangsiapa yang
bersungguh-sungguh maka akan berhasil mencapai-Nya. Inilah kewajiban permanen
kita, tujuan diciptakannya kita sebagai Khalifah dimuka bumi.
“Perjalanan dakwah tiada penghujung
kita bukan pemula bukan pula penghujung tetapi penyambung. Maka jangan hentikan
perjalanan dakwah itu. Teruslah berjalan.” (Ahli Hikmah).
*untukmu punggawa-punggawa Al-Quds,
teruslah bergerak!
0 komentar:
Posting Komentar